Thursday, March 24, 2011


SUSNO DAN PALU HAKIM

Palu telah diketok oleh Hakim. Dan Susno divonis oleh Hakim, 3,5 tahun penjara. Menyedihkan . Tuan Peniup Pluit yang membuka borok para penyalah-gunakan hukum, jelasnya para mafia hukum; perbankan dan pajak ini, kendati belum resmi menjadi penghuni Hotel Prodeo, karena masa penahanan sudah habis, pastilah mencabik-cabik perasaan masyarakat dan penggiat pencari keadilan. “Keadilan di Negeri ini sudah mati!”

Susno memang masih akan Banding, Kasasi, PK,  untuk mendapatkan keadilan itu dan bebas dari segala sangkaan, tuduhan, dan apalagi hukuman. Ini jika hukum masih diartikan dan digunakan untuk mencari keadilan. Tapi jika Hukum sudah dinodai dan di balik semua keputusan ini, terkait Politik, apalagi terkait dengan Kekuasaan, maka biarpun seluruh pengacara yang ada di negeri ini dikerahkan, tetaplah Susno akan dihukum, atau jangan-jangan pada tingkat Banding akan ditambah, karena semua orang sadar dan telah tersadarkan kini, bahwa Susno harus dibungkam, untuk melindungi pihak-pihak yang ditengarai adalah kelompok Mafia Hukum.

KEYAKINAN HAKIM

Hukum di negeri ini sepenuhnya hanya milik Hakim. Mutlak. Karena tuntutan Jaksa, pembelaan Pengacara, hanya pernik atau penghias persidangan.  Apalagi pendapat para pakar hukum, sepertinya tidak ada gunanya.Maka teori-teori, pembuktian dan segala macam, untuk menyatakan si terdakwa tidak bersalah, tidaklah terlalu berguna. Kalau Hakim yakin, ketok palu, hukumannya, sekian bulan, sekian tahun, sekian puluh tahun dan seterusnya.

Ini, terjadi, karena tidak ada patokan berprilaku dari seorang Hakim yang memimpin persidangan. Tidak ada patokan untuk menghukum. Kalau Hakim sudah yakin si terdakwa bersalah, maka suka-suka dialah menjatuhkan hukuman. Tidak ada yang bisa menggugat hakim karena putusannya. Kalau tidak setuju, yah, paling – paling naik Banding, atau Kasasi, atau PK. Karena sekali seseorang melakukan sesuatu, semisal  “mengatai” Hakim dengan begini atau begitu, maka dia bisa dituduh telah melakukan “penghinaan” atau “contempt of  court”.  Jadi, apakah perlu menyajikan fakta-fakta dalam persidangan kalau semua adalah berdasarkan “keyakinan” Hakim? Lalu bagaimana, jika hakimnya keliru meyakini, dan bagaimana kalau hakimnya juga sudah “ berembuk” di luar persidangan dengan pihak-pihak yang harus dimenangkan?

Pasrah Saja

Persoalan Hukum di negeri ini, bukan soal hukumnya. Hukum atau UU sudah bagus. Tapi prakteknya. Kekuasaan lebih dominan daripada penterapan hukum sesuai dengan hukum itu sendiri. Lihatlah apa yang dialami oleh Susno ini. Bayangkan untuk seorang Jendral berbintang *** dan bekas Kabareskrim Polri pun bisa mengalami hal seperti itu.  Dia “tiup”  dan  dia  “Menyanyikan”  segala karut – marut praktek mafia peradilan. Logikanya, kalau dia tidak bersih, kecil kemungkinan dia meniupkan pluit. Kalau dia memang melakukan praktek korupsi dan penyalah gunaan jabatan, masuk akalkah kalau dia sangat nyaring menyanyikan semua perilaku atau penyimpangan hukum di negeri ini? Tetapi itulah yang terjadi. Vonis 3,5 tahun sudah diketok. Nah, kalau ke seorang Jenderal pun bisa dilakukan seperti itu, apalagilah kepada rakyat jelata yang tidak mengerti hukum. Lalu mau di bawa ke mana negeri ini?

Itulah soalnya. Maka kalau kita melihat ada yang korban jadi tersangka, Pritha misalnya, dan yang melapor malah bisa ditahan, maka kelak, ini bisa saja terjadi, masyarakat pencari keadilan tidak lagi percaya terhadap penegak hukum, dan karena putus asa, sehingga  berpikir dan lalu bertindak dengan “Hukum Rimba”, maka hancurlah negara ini. Pertanyaan, haruskah ada revolusi di bidang ini, atau kita biarkan saja , dan negara menjadi tak bermartabat?

Tapi, percaya atau tidak percaya, pasti masih banyak Hakim-hakim dan calon-calon Hakim  dan calon Pemimpin di negeri ini yang memiliki hatinurani. Hatinurani adalah peralatan rohaniah manusia yang menjadi hakim bagi dirinya. Dan dia tidak pernah keliru untuk “Menghakimi diri sendiri.”
***
Laris Naibaho
Direktur Ekskutip Forum Pemerhati Penerbitan Pers Indonesia







"Palu-palu ni Ogung
palu, palu ni sombaon,
molo male butuha
manangko pe ulaon"

Saturday, February 02, 2008

Kebaya Pengantin
Cerpen Suhunan Situmorang


TARINA sadar malam sudah tua, namun resah yang sudah berbilang minggu menggelinjang di hatinya, membuat dirinya tak bisa tidur. Dibukanya lagi jendela depan rumah kayu berkolong itu seraya melepas pandang ke hamparan sawah dan danau yang samar-samar terlihat di kejauhan. Malam tak begitu gelap, bulan purnama merayap ke ufuk barat. Sunyi malam sesekali diusik suara jangkrik.

Keluhnya mendesah lagi. Dalam. Terngiang percakapan dengan ayah-ibu, adik-adik, dan kerabat dekat mereka di kampung itu; percakapan bermuat kecewa dan juga amarah atas tindakan Linggom yang tinggal hitungan jam menikahi Riana. Namun, walau sempat tersungkur akibat perbuatan kakak kelasnya di SMA 1 Pangururan itu, semampunya ia tahan emosinya agar tak ikut menghujat Linggom. Mungkin maksudnya agar kekecewaan dan kemarahan orangtua, saudara-saudara dan juga kerabatnya, tak terlalu parah; barangkali pula karena cintanya pada lelaki yang hampir sewindu menjalin cinta dengan dirinya itu belum seluruhnya sirna.

Ketika orang-orang yang menyayanginya itu gencar menyumpah Linggom, rekaman masa lampaunya malah menari-nari di benaknya. Linggom adalah lelaki pertama dan satu-satunya yang mampu membuat dadanya bergelora, yang menghibahinya perasaan-perasaan aneh yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Terlintas pula masa-masa mereka kuliah di Medan , menjalin cinta di tengah keprihatinan, berjuang bersama demi menggapai cita-cita. Juga masa-masa ketika sama-sama mencari pekerjaan di Batam, di mana Linggom harus menitipkannya di kamar kos sepupu perempuannya— buruh sebuah pabrik elektronik—karena tak cukup uang menyewa kamar; Linggom sendiri harus berpindah-pindah dari satu tumpangan ke tumpangan lain. Mereka saling menghibur manakala lamaran kerja ditolak perusahaan yang dipinang; juga tatkala uang untuk membeli nasi, membuat pasfoto dan biaya fotocopy, ongkos angkot mencari pekerjaan, kian tipis. Lalu, setelah mendapat pekerjaan dan mendapat gaji pertama, mulai menabung untuk mewujudkan sebuah impian yang mereka bangun sejak kuliah: menikah di Samosir dengan prosesi gereja dan adat nagok.

Linggom sudah meruntuhkan impian mereka dalam sekejap. Pengakuannya, ia dipaksa ibunya menikahi Riana, perempuan yang masih terbilang pariban-nya. Padahal selama ini tak pernah ia katakan keinginan ibunya itu, bahkan seingat Tarina tak sekalipun menyebut Riana, perempuan yang lahir dan besar di Lubuk Pakam dan bekerja sebagai perawat di RS Pirngadi, Medan itu. Kata tetangga dan kerabatnya, memang ibunya Linggom-lah yang langsung melamar Riana, dan mau. Bahkan orangtua Riana bersedia pula pesta adat pernikahan putri mereka dilangsungkan di Hatoguan dengan cara taruhon jual.

Berhari-hari Tarina lunglai bahkan hingga menjelang kepulangannya ke Hatoguan masih sulit percaya bahwa Linggom bukan lagi lelaki miliknya. Orangtua dan kawan-kawannya di Batam sebetulnya keberatan ia pulang, karena menurut mereka hanya menambah luka batin, sementara yang melukainya bersenang-senang dengan perempuan lain. Ia mampu memenangkan pergumulan batinnya, betapapun belum seluruhnya percaya bahwa Linggom akan sungguh-sungguh menikah dengan perempuan lain. Yang sempat membuat dirinya bingung adalah menentukan kado untuk Linggom, walau akhirnya memutuskan memberi ulos Bittang Maratur , dengan harapan, Linggom akan bahagia bersama istrinya, memiliki putra-putri.

Orangtua dan adik-adiknya kaget sekaligus lega ketika ia tiba. Mereka sempat cemas memikirkan Tarina. Wajah ayah-ibunya terlihat lega setelah melihat senyum dan cara bicara Tarina yang seolah tak menanggung pikiran berat. Seusai makan malam, ayah dan lima kerabatnya coba menyabarkan hatinya, walau nadanya bermuat amarah. Kata mereka, umur Linggom saja yang dewasa, namun pikiran dan sikapnya masih kanak-kanak. Ia bukan lelaki sejati sebab tak bisa menetapkan sikap sendiri, karenanya bukan lelaki yang tepat untuk mendampingi Tarina hingga saur matua.

Orang-orang di Hatoguan tahu, putusnya hubungan Linggom dengan Tarina, semata-mata disebabkan persoalan orangtua mereka. Ayah Tarina dan ayah Linggom yang sama-sama guru di SMP negeri Hatoguan dan sintua di gereja mereka itu, sekitar 15 tahun lalu terlibat pertikaian hebat akibat ulah petinggi gereja—yang juga mengimbas ke hampir semua jemaat dan pengurus gereja Batak Protestan itu. Bertahun-tahun dua kelompok itu berseteru, memperebutkan bangunan gereja yang diklaim masing-masing kubu sebagai pemilik yang absah.

Ketika konflik antarjemaat gereja itu berkobar, Tarina masih gadis kecil murid kelas empat SD dan Linggom kelas enam. Sebagaimana anak-anak lain seumuran mereka, kedua bocah itu tak cukup paham akar persoalan yang mengakibatkan maraknya api perseteruan orangtua mereka. Cinta mereka tumbuh alamiah dan bersemi ketika Tarina kelas satu SMA dan Linggom kelas tiga di SMA 1 Pangururan—walau baru setahun kemudian mereka ikrarkan. Mereka pikir, permusuhan orangtua mereka sudah menguap. Ternyata tidak bagi orangtua Linggom. Kesumatnya tetap membara hingga masa tuanya menjelang.

***
PIKIRAN Tarina masih terus mengelana dan akhirnya tiba di sebuah ruang dormitory milik perusahaan asing tempatnya bekerja; tempat tubuhnya biasa berehat usai kerja. Foto-foto Linggom tak lagi ikut menghuni kamar sempit itu. Sebelum kepulangannya ke Samosir, kesemua gambar lelaki itu, termasuk foto kesukaannya saat mereka pesiar ke pantai Bintan, sudah ia singkirkan. Mendadak pula ia minta cuti dari kantornya, dengan alasan neneknya sakit keras—yang sebetulnya sudah lama mati.

Ia tak merasa sayang lagi mengeluarkan delapan ratus ribu rupiah untuk ongkos perjalanannya ke Samosir, juga membelanjakan sekitar tiga setengah juta untuk membeli oleh-oleh bagi kedua orangtua dan keempat adiknya. Tadinya, uang yang dua tahunan susah-payah ditabungannya itu akan ia serahkan pada ibunya untuk membiayai pesta pernikahannya. Setengahnya kini sudah dikuras; anehnya ia merasa puas.

Dan, dua potong kebaya dan sarung Palembang yang susah-payah dicicilnya dari Inang boru Gultom pedagang kain di Batu Ampar itu, telah ia serahkan pada ibunya, diberikan berikut oleh-oleh lain yang dibawanya dari Batam. Ibunya tertegun saat menerima dua potong bahan kebaya dan sarung yang berkilauan itu. Perempuan 40 tahunan itu tentulah tahu, kendati tak ada yang memberitahu, kebaya dan sarung yang baginya termasuk barang mewah itu sedianya dibeli Tarina untuk busana pernikahannya. Sepasang untuk acara martumpol, satu lagi untuk acara pamasu-masuon di gereja sekaligus pesta adat.

Ibunya tak kuasa menutupi galau hatinya ketika memperlihatkan selembar ulos Bittang Maratur yang pekan lalu ia beli di pasar Mogang atas pesanan putri sulungnya. Tarina tahu hati ibunya pastilah teriris-iris saat memilih ulos itu, karena mestinya ulos untuk dirinya dan Linggom-lah yang dibeli—yang diberikan saat upacara adat perkawinan mereka.
Sampai percakapan mereka berujung karena malam sudah membubung, ibunya tak menyinggung perihal kebaya dan sarung berjenis songket Palembang pemberian Tarina. Perempuan beranak lima itu cuma membekapkan bungkusan besar itu ke dadanya, lalu bersingsut menuju kamar tidurnya. Ketika Tarina memasuki kamar adik-adiknya yang bersebelahan dengan kamar tidur ibunya, dari sela gorden kusam yang menjuntai di atas kusen pintu, matanya menangkap ibunya rebah di atas dipan dengan lengan menggeletak di kening, dan lengan kirinya menindih bungkusan berisi kebaya dan sarung itu di atas perutnya.
Tarina bisa menduga pikiran-pikiran yang berkecamuk di benak ibunya, juga bisa meraba kepedihan hati perempuan yang amat disayanginya itu. Sebetulnya amat ingin ia bicara, memohon agar ibunya tak lagi menyesali sesiapa pun atas kegagalan pernikahannya; semata-mata karena Linggom memang bukan jodohnya. Niatnya terganjal karena kedua adiknya, Sinta dan Romauli, mengajaknya berbincang seraya meluapkan rindu bersama.

Sinta, adik di bawahnya persis dan guru SD di Tebing Tinggi , sengaja memilih topik pembicaraan seputar pekerjaan Tarina dan suasana kehidupan di Batam; sementara Romauli, pelajar SMA kelas tiga itu, lebih suka meneruskan kecaman pada Linggom, yang dikatakannya pengecut dan penipu. Tak lupa Romauli mengimbuhkan betapa kegagalan pernikahan Tarina dan Linggom menjadi bahan pergunjingan menarik di seantero Hatoguan. Di sawah, pasar, kedai, danau, apalagi saat kaum perempuan bermalas-malas sambil mencari kutu di tangga depan rumah mereka, ketidakjadian Linggom mengawini Tarina itulah bahan gunjingan utama.

Tarina bersikap tenang saat Romauli dengan emosional menyampaikan tanggapan orang-orang. Ditambahkannya pula bahwa menurut penilaian orang-orang, perempuan yang akan diperistri Linggom itu tak lebih cantik dari Tarina; harga dirinya dianggap rendah sebab mau dinikahi lelaki yang seumur hidupnya belum pernah dikenal. Selama Romauli bercericau Tarina hanya senyum walau sesekali mendenguskan napas panjang. Bisa dimakluminya kekecewaan Romauli, sebagaimana ayah-ibu dan semua kerabatnya. Bisa pula dipahaminya alasan-alasan mereka menuduh Linggom lelaki pengecut yang tak bertanggungjawab.

Tapi ia tak ingin bila adik-adiknya, apalagi ayahnya, semakin beringas menghujat Linggom. Bukan karena Linggom masih menyisakan serpihan-serpihan cinta di relung hatinya, bukan pula karena malam itu masih ada harapan akan terjadi sebuah keajaiban: Linggom tiba-tiba datang menemuinya dan berkata sudah membatalkan perkawinannya. Ia hanya ingin di tengah persoalan dirinya dengan Linggom, harus dibuat pagar pembatas, yang tak perlu dimasuki orang lain, kendati yang memasukinya berstatus orangtua atau saudara kandung. Walau amat kesakitan ditinggal Linggom, ia ingin dirinya saja yang menanggung derita, seberat apapun itu.
Dan, maksud kepulangannya ke Hatoguan itu, tak lain untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa tegar—walau hatinya remuk. Juga untuk menyerahkan sebuah kado istimewa untuk perempuan yang amat dikasihinya, dua potong bahan kebaya buatan paris dan sarung songket Palembang yang kebetulan amat ia sukai warna dan motifnya.

***
TARINA benar-benar tak tidur. Tubuhnya bagai patung di tengah jendela depan rumah orangtuanya. Matanya terasa perih, mungkin karena semalaman tak tidur. Ditatapnya pematang-pematang sawah dan hamparan danau yang mulai jelas terlihat karena pantulan matahari fajar, ditambah bias rembulan yang sudah tertutup perbukitan Ulu Darat.
Tak lama lagi lelaki yang sekian lama mendebarkan jantungnya itu akan resmi dimilki perempuan lain. Langkahnya perlahan menuju kamar tidur adik-adiknya, lalu merebahkan tubuhnya di sisi Sinta. Tak seberapa lama kemudian ia dengar ibunya bangun dan kemudian bersibuk di dapur. Tarina berusaha memejamkan mata, sayangnya pikirannya kembali mengelana.

Dadanya berdentum lagi tatkala terbayang perjalanan Linggom dan Riana menuju gereja—diikuti rombongan orangtua, handaitolan, tetangga--yang harus melintasi jalan di depan rumahnya. Ia pun belum yakin dengan sikapnya, apakah benar-benar siap dan akan tenang saat menyerahkan ulos Bittang Maratur yang sudah dibungkusnya dengan kertas kado warna ungu itu.

Tiba-tiba ibunya membuka pintu, menghampirinya, dan dengan suara pelan membangunkannya.
Tarina masih memejamkan mata.
“Bangun dulu kau Inang. Sebentar saja. Nanti kau teruskan pun tidurmu.”
“Kenapa, Mak?” Tarina seolah baru terbangun dari tidur yang lelap.
Ibunya menatap Tarina beriring senyum, tapi bola matanya berkaca-kaca. Beberapa jenak mereka termangu, perasaan Tarina kembali dihanyutkan galau.
“Omak harus mengembalikan kebaya dan sarung songketmu ini, Inang…”
“Kenapa, Mak? Omak tak suka?”
Ibunya menggeleng, senyumnya tipis.
“Uangku sendiri kok, Mak, yang membeli...”
Ibunya mengangguk.
“Terus, kenapa Omak kembalikan…?”
Ibunya tersenyum lagi, “Semalaman mataku tak bisa lelap, Inang. Lalu aku berdoa terus, memohon-mohon pada Tuhan agar jodohmu dikirimkan.”
Ibunya tak kuasa menghentikan desakan air matanya.
Tarina terdiam, menahan napas sembari melipat kedua bibirnya, “Tapi Omak jangan sedih. Hatiku tak kuat melihat Omak menangis...”
Ibunya mengangguk, matanya mendadak berbinar.
“Apakah Omak belum yakin permasalahanku dengan Linggom akan bisa kuhadapi dengan tenang?”
Ibunya menghapus matanya dengan punggung tangannya. “Tangisku ini tangisan senang, Inang…," ucapnya lirih. "Tadi di dapur, saat menanak nasi untuk sarapan pagi kita, kudengar malaikat Tuhan membisikkan sesuatu ke telingaku.”
Dahi Tarina sontak mengernyit.
“Katanya, lelaki yang sungguh-sungguh mencintaimu tak lama lagi akan datang.”
Mata Tarina membelalak, kerut di dahinya kian rapat.
“Kebaya-kebaya cantik inilah yang kuingin kau kenakan saat lelaki yang akan dikirim Tuhan itu menikahimu.. .” ***

Jakarta, 20-27 Januari 2008. (Cerpen pertama di tahun 2008, ditulis khusus untuk semua nahinaholongan, para miliser ‘pulosamosir’) .

Sunday, April 22, 2007

Lama tidak menulis. Dan keinginan untuk melupakan saja internet dengan segala kemajuannya sudah bulat waktu itu. Tapi ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Teramat sulit. Kerinduan tumbuh dan tumbuh. Jemari tangan meminta untuk ditarikan, dan akhirnya aku menyerah.

Jadilah hari ini, Minggu, 22 Mei 2007, kutetapkan hati dan pikiran untuk kembali menari-narikan jemariku di atas tuts-tuts komputer ini. Ada asa yang mendalam, karya tulis yang kumuat di Batak Post ini dapat dibaca di seantero dunia, yang siapa tahu isinya berguna dapat dinikmati oleh pembacanya khususnya orang Batak di rantau, atau mungkin juga di Bona Pasogit.

Jika anda membaca Batak Post ini, dan ingin berbincang lebih dalam dengan saya, kontak saya di larisnaibaho@yahoo.co.id. Oke.

Salam hangat,

Laris Naibaho

Thursday, July 13, 2006

B B M
Dan
H U M O R
ala
Batak








BBM dan Humor ala Batak
Oleh : Laris Naibaho

Butet, jangan menangis putriku.. Tangismu akan semakin membuat pikiranku SIMANUNGKALIT menghadapi hidup ini setelah SBY memutuskan BBM naik.
SBY mungkin keliru, atau saya sebut saja tidak memiliki SIBARANI untuk mempertahankan harga, karena ditekan habis oleh IMF. Harusnya SBY menyadari, SAGALA barang di pasaran akan SILANGIT mengikuti harga BBM. Harga yang tadinya cuma NAPITUPULU sontak melonjak menjadi PANGARIBUAN. Ini bukan desas-desus, atau mencoba mendiskreditkan pemerintah di bawah SBY, tetapi semua orang bisa melihat indikatornya di PASARIBU yang lebih dikenal dengan Pasar Induk.

Butet, jangan meraung putriku. Engkau tahu, dan aku sadar betul, aku tidak bisa lagi seperti dulu di sore hari pergi ke BUKIT untuk mencari PERANGIN-ANGIN, karena NABABAN makin berat di pundakku. Aku memang masih memiliki HARAHAP bahwa kesulitan ini hanya masih bersifat sementara, seperti yang disampaikan oleh Aburizal Bakrie. Katanya, kenaikan BBM ini, justru untuk memperbaiki kinerja Pemerintah memakmurkan rakyat.

Butet, bersabarlah putriku. Kendati pekerjaanku sebagai supir yang melewati TOBING-TOBING terjal, dan juga harus berhadapan dengan SITINJAK dan MANURUNG yang curam, aku tak akan hengkang dari pekerjaan ini dan tetap SITORUS sampai tubuh ini tidak mampu lagi untuk bekerja. Sebab, pekerjaan apa lagi yang bisa kulakukan, karena konon dengan kenaikan BBM ini akan banyak pabrik yang bangkrut, terutama pabrik kapur BARUS. Ini terjadi, karena buruh-buruh HARIANJA banyak yang SIMORANGKIR kerja, karena tak mampu membayar ongkos angkot yang naik 100 prosen.
Butet, berhentilah menangis.

Tadi pagi, aku coba tanya SIJABAT kelurahan, siapa tahu, aku yang sopir ini mendapat subsidi dari pemerintah. Maksudku agar bisa membeli minyak tanah yang naiknya di luar rasio. 180 %. Sakit dada ini memikirkannya putriku. Rasanya, SEBAYANG di benak, kompor tua peninggalan ibumu akan SIMANJORANG menyala, karena kusadari penghasilanku akan semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari. SILAEN itu, engkau akan semakin sering kutinggal, karena aku TAMBA pekerjaan lain, karena terbukti, kenaikan BBM ini telah diikuti dengan kenaikan sembilan bahan pokok lainnya.

Butet putriku,

Badanku letih, dan rasanya ingin memejamkan SIMARMATA ini meski hanya sekejap. Tapi SINAGA naganya nya terasa sulit., karena pikiranku yang menerawang sampai ke SAMOSIR, tempat pamanmu SITUMORANG dan amangborumu bapak ni si Poltak HUTABARAT yang pasti merasakan hal yang lebih sulit daripadaku. Tetapi meski demikian, dalam PANDIANGAN mataku, meski semua SIBUEA hidup disana akan membengkak, saya yakin tulang mu itu bisa MANULANG i semua kesulitan yang ada.

Butet permataku,

Aku ingin menangis MARPAUNG paung atau berteriak sekuat tenagaku untuk menghilangkan kepenatan pikiranku yang BUTAR-BUTAR ke sana-sini. Selalu saja timbul pertanyaan, KABAN persoalan negeri ini selesai? Apakah pemimpin negeri ini otaknya sudah pada LIMBONG, sehingga tidak bisa memberi rasa nyaman rakyatnya? Atau apakah pikiran mereka sudah SITOMPUL semua? Atau barangkali bahkan sudah pada SEMBIRING sehingga perlu untuk ke psiater? Ah. Apalagi tadi pagi, rekanku di penerbitan pers Prakitri Tahi SIMBOLON, meng sms ku, bahwa TAMBUNAN hutang kita ke anggota Paris Club yang dipimpin AS semakin menggunung. Padahal SIPAKKAR ekonomi yang menjadi andalan SBY selalu mengatakan, SIHOTANG kita akan turun terus-menerus, asalkan kita bisa memberantas korupsi dan mengadili koruptornya.
Tapi putriku, semua rasanya hanya menjadi isapan jempol, karena sudah menjadi rahasia umum, keadaan di masyarakat hari ke hari semakin GINTING, dan anggota kabinet satu dan yang lain saling SILALAHI, dan kalau begini jadinya siapa yang SINAMBELA rakyat? Yang paling menggalaukan hati, adalah AMBARITA yang menyebutkan bahwa akan terjadi reshuffle kabinet, yang orang-orangnya adalah ditunjuk langsung oleh IMF, agar investasi mereka di negeri ini aman-terkendali.Aduuh…!

Putriku tercinta, tidurlah. Usah kau dengarkan RAJA GUKGUK yang menyalak terus menerus. Biarkan saja. Kita tak mampu apa-apa. Demo di negeri ini hanya sebuah kemenangan berdemokrasi, tapi tidak mampu mengisi kekosongan jiwa dan perut. Contoh sederhananya, betapa kita terus menerus bicara tentang hutan yang tadinya masih SINGARIMBUN kini gundul tanpa ada yang mau bertanggungjawab. Tambang BATUBARA yang tadinya bisa menjadi andalan untuk bahan BAKARA, konon terlantar, karena percekcokan antar petinggi negeri ini.

Jadi, tidurlah putriku.

Dengan tidur, paling tidak perutmu yang keroncongan, sejenak akan hilang. Besok pagi, jika engkau BANGUN, tataplah mentari pagi, dengan penuh optimisme. Tak ada tali akar pun jadi, seperti kata banyak orang Susah Bbm Yaa Jalan Kaki (SBY-JK). Kalau toh, kita harus kembali ke zaman PURBA di era Kuantum ini, tidak mengapa. Karena kuyakini sayang, kebahagiaan hidup bukan hanya terletak pada dunia materi, tetapi bisa justru yang immateri. Sebab, ayahku yang seorang penatua, dan paling benci pada koruptor pernah berkata padaku, “Manusia tidak hanya hidup dari materi.” Tetapi ada kekuatan di luar itu, Tuhan. Dan itulah yang kuimani.
Nah putriku, agar tidurmu lelap, kuhantar engkau dengan lagu kesayanganku :
(Butet haru patibu ma magodang ale Butet…
asa adong da palang merah ale Butet…
da palang merah ni Negara ale butet…
i doge…doge…doge
i doge i… doge doge.)
***
larisnaibaho@yahoo.co.id